Artikel

MEMAKNAI HARI SANTRI DENGAN KONSEP REVOLUSI MENTAL DAN HIJRAH RASULULAH

Senin, 23 Oktober 2017
blog

Illustrasi Foto (Kemenag RI DKI Jakarta)

 

 

MEMAKNAI HARI SANTRI DENGAN KONSEP REVOLUSI MENTAL

DAN HIJRAH RASULULAH

Dwi Ning Wahyuni B, M.Sc*

 

Beberapa tahun terakhir, kata revolusi mental sangat sering terdengar, baik itu di media cetak ataupun media elektronik. Kata revolusi mental cukup menjadi trend setter bagi Bangsa Indonesia. Terlepas dari hingar bingarnya kata revolusi mental, alangkah lebih bijaksana jika kita lebih mendekatkan kata revolusi mental terhadap sebuah segmentasi massa yang dekat dengan sebuah proses pembelajaran.

Revolusi berasal dari Bahasa latin revolution, yang berarti “ berputar arah “, artinya revolusi adalah perubahan fundamental (mendasar) yang terjadi dalam kurun waktu yang singkat. Jadi kata kunci dari revolusi adalah perubahan dan  waktu singkat.

Sedangkan mental atau tepatnya mentalitas adalah cara berpikir atau kemampuan untuk berpikir, belajar dan merespons terhadap suatu situasi atau kondisi.  Berawal dari pengertian tersebut, maka kita bisa menarik sebuah benang merah dengan konsep Hijrah yang sering kita rayakan ketika Bulan Muharam tiba.

Segmentasi massa yang ada di lingkungan kita adalah segmentasi massa pembelajar tingkat tsanawiyah. Segmentasi pembelajar itu tidak lain adalah siswa-siswi madrasah yang harus diarahkan  bagaimana mereka bisa memaknai revolusi mental dengan tetap berpegang kepada rambu-rambu agama. Pelajaran Hijrah yang Rasulullah contohkan merupakan aplikasi sebuah revolusi mental yang luar biasa. Rasulullah melakukan dua macam hijrah, yaitu Hijrah makani dan Hijrah maknawi. Hijrah makani dilakukan Rasulullah dan para sahabat untuk mencari sebuah kemashlahatan dalam beragama, sehingga mereka harus berpindah tempat dari Mekah ke Madinah. Sedangkan Hijrah maknawi dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat dengan merubah maknawi mereka, merubah pemahaman dien mereka. Perubahan maknawi yang mereka lakukan adalah sebuah revolusi mental. Bedanya ada pada definisi kurun waktu yang ada. Kalau Hijrah yang dilakukan Rasul dan para sahabat terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, tidak singkat. Mereka mengalami proses eskalasi yang mantap. Proses penanjakan mental yang matang, sehingga perubahan mental dan pemikiran terjadi dengan elegan dan tahan lama. Jika revolusi mental yang dimakanai seperti pengertian di atas, maka dapat dibayangkan bagaimana hasil yang didapat dari sebuah revolusi mental yang terjadi dalam waktu yang singkat?

Kembali lagi kita coba tarik benang merah. Bagaimana kita sepakat untuk mengarahkan siswa-siswi madrasah untuk bisa melakukan perubahan dalam cara berpikir sehingga mampu merespon, bertindak dan bekerja dengan cepat. Kata cepat di sini bukan bersifat spontanitas buta, tetapi kata cepat disini tetap dibarengi dengan sebuah budaya analisis dan pertimbangan yang matang. Konsep akselerasi yang diimbangi dengan sebuah eskalasi yang mantap, seperti hijrahnya Rasul dan para sahabat.

Tanggal 22 Oktober adalah Hari Santri. Santri di sini tidak saja identik dengan sarung dan peci saja. Mereka yang berdasi dan bercelana panjang pun bisa disebut santri, jika sosoknya terwarnai dengan rambu-rambu agama, yaitu bagaimana konsep revolusi mental yang terbungkus dengan konsep Hijrah ala Rasulullah bisa membentuk pribadinya sehingga menjadi sosok santri yang luar biasa. Siswa-siswi madrasah pun santri, sehingga spirit Hijrah juga harus sampai kepada mereka. Bagaimana siswa-siswi madrasah menjelma menjadi santri yang hatinya adalah Al-qur’an, sikapnya adalah kebijaksanaan dan pendapatnya adalah kemashlahatan.. Banyak tugas rumah di pundak para pendidik madrasah, Agar tiga hal tadi dapat tervisualisasikan pada diri santri di madrasah kita. Bagaimana kita bersama bisa mencetak dan menjadikan madrasah sebagai kawah candradimuka bagi santri-santri kita. Kesantunan dan keteladanan yang Rasulullah berikan di depan para sahabat, mampu melahirkan generasi terbaiknya saat itu. Sekarang, giliran kita, para pendidik madrasah, apakah kita mampu memberikan kesantunan dan keteladanan untuk anak didik kita, para santri madrasah, sehingga mereka menjadi generasi terbaik juga pada zamannya?

Semua itu kembali kepada kita semua, para pendidik madrasah. Guru para santri madrasah. Itu sebabnya mengapa keteladanan menjadi salah satu budaya kerja yang diusung Kementrian Agama saat ini. Keteladanan yang ditunjukan oleh pendidik dapat menghasilkan sebuah hasil yang dahsyat, bahkan bisa lebih dahsyat dari jargon revolusi mental biasa. Semua kembali kepada kita semua, itu adalah pilihan!

Madrasah lebih baik, lebih baik madrasah

 

*wakil kurikulum MTsN 34 Jakarta

 

  • Tags:  

Terkait