Implementasi Kepdirjen PHU Nomor 137 Tahun 2025 di lapangan mengalami beberapa penyesuaian. Salah satunya skema murur yang semula akan diberlakukan bagi 25 persen jamaah, setelah berdiskusi dengan Pemerintah Arab Saudi diperkenankan sampai 33 persen. Adapun krieterianya tetap yaitu bagi jamaah lansia, risiko tinggi, penyandang disabilitas, obesitas, pengguna kursi roda, dan pendampingnya.
Adapun tanazul mina setelah dikoordinasikan dengan berbagai pihak tidaklah dapat diterapkan karena mempertimbangkan berbagai risiko yang ditimbulkan. Tertuang dalam Kepdirjen ini bahwa sasaran program tanazul mina sebanyak 95 kloter atau setara 37.497 jamaah (setara bahkan lebih bayak dari jamaah haji dari Malaysia) yang tersebar di wilayah Syisya dan Raudhah.
Patut bersyukur di saat-saat injuri time skema ini ditunda bahkan dibatalkan dengan berbagai pertimbangan, kendatipun dampaknya dalam waktu yang cukup singkat syarikah yang melayani jamaah harus memutar otak mengembalikan layanan yang semula akan diberikan di hotel-hotel di wilayah Syisya dan Raudhah kemudian harus dikembalikan ke tenda-tenda Mina, termasuk layanan akomodasi dan konsumsi 37 ribuan jamaah.
Mengpa patut disyukuri, bahkan ini merupakan satu mu'jizat dalam penyelenggaraan haji tahun ini? Dapat dibayangkan betapa crowdidnya wilayah Jamarat yang biasa digunakan oleh jamaah-jamaah yang mengambil skema tanazul itu. Tidak diberlakukan secara formal saja kondisi Jamarot dan sekitarnya mengalami crowdid sedemikian rupa, apalagi kalao 37 ribuan jamaah secara mandatori mereka tanazul, betapa crowdidnya wilayah jamarat oleh jamaah yang akan mengambil mabit di mina karena mereka tinggal di hotel-hotel di sekitar Syisya dan Raudhah. Kendatipun dikeluarkan fatwa Mustasyar Dini misalnya, bahwa mereka tidak wajib mabit di mina, siapa yang dapat membendung keyakinan jamaah perihal ibadah yang ditunggu-tunggu selama sekian tahun ini bahwa mabit di mina adalah wajib bukan sunnah. Hal ini tentu bisa saja akan menimbulkan insiden baru di wialayah jamarat, yang sekali lagi kita patut bersyukur kemudian skema tanazul ini dibatalkan. Ini adalah mukjiat pertolongan Allah Swt yang telah menyelamatkan kita dari potensi yang berbahaya bagi keselamatan nyawa jamaah.
Ke depan skema tanazul dengan pola seperti ini harus dihindari, dan lebih baik mengambil skema murur satu paket dengan tanazul. Maksudnya, jamaah risiko tinggi, lansia dan difabel yang mengambil sekema murur melewati muzdalifah mereka secara otomatis juga tanazul dengan tidak menempati tenda mina, melainkan langsung menuju ke hotel karena kadaruratannya. Jamah risti, lansia, dan difabel ini faktanya mereka sangat kesulitan ketika berada di tenda mina, terutama untuk mengakses fasilitas dasar MCK misalnya, sehingga -mohon maaf- banyak diantara mereka buang air di tempat tidur mereka. Hal yang tentu sangat tidak nyaman baik bagi jamaah ristinya itu sendiri maupun bagi jamaah lainnya.
Oleh karena itu skema murur ke depan sebaiknya menjadi satu paket dengan tanazul kalau masih terdapat jamaah berisiko tinggi atau lansia yang harus berangkat haji. Skema murur-tanazul satu paket ini tidak hanya akan berhasil mengurai kemacetan di Muzdalifah tapi juga akan mampu mengurangi kepadatan di tenda Mina. Selain itu jamaah risiko tinggi, lansia, dan penyandang disabilitas akan dapat terlayani dengan baik di hotel masing-masing.[]
Penulis : Dr.H.Adib, M.Ag (Kepala Kanwil Kemenag DKI)