Jakarta (Humas MIN 17 Kepulauan Seribu) --- Pagi itu, 1 Desember 2025, halaman Kanwil Kementerian Agama DKI Jakarta dipenuhi gelombang biru seragam KORPRI. Langit Jakarta tampak cerah seolah ikut merestui peringatan Hari Korpri ke-54 yang berlangsung khidmat. Lagu Indonesia Raya yang mengalun nyaring membuat dada setiap peserta bergetar. Dari sudut barisan, enam pegawai tenaga kependidikan dari MIN 17 Kepulauan Seribu berdiri dengan raut wajah yang tak mampu sepenuhnya menyembunyikan kegugupan bercampur haru. Senin, (1/12/2025).
Mereka tidak pernah terbiasa menjadi bagian dari keramaian sebesar itu. Ashabul Kahfi, Sukarno, Badriyah, Rika, Barkati, dan Nuraeni para penggerak senyap yang menjaga kelancaran madrasah dari balik layar. Tangan mereka yang selama ini memegang sapu, map, kain lap, dan buku administrasi kini menggenggam harapan baru. Hari itu bukan hanya milik Korpri, tetapi juga milik mereka yang selama ini mengabdi dalam diam.
Sehari sebelumnya, mereka sudah tiba di Jakarta. Perjalanan dari pulau yang akrab dengan angin laut ke daratan yang sesak dengan gedung tinggi terasa seperti perpindahan dunia. Malam sebelum upacara, tidur mereka tak benar-benar tenang. Mereka membayangkan saat-saat ketika SK yang lama mereka nantikan akhirnya berada dalam genggaman. Tetapi kenyataan bahwa semuanya akan terjadi bersamaan dengan Hari Korpri membuat segalanya terasa lebih berarti.
Setelah upacara selesai, para peserta diarahkan menuju Aula Gedung Baru lantai tiga. Di sinilah mereka akan mendapatkan pembinaan sebelum menerima SK. Ruangan besar itu terasa sangat sunyi ketika Kepala Kanwil Kemenag DKI Jakarta, Abid, memasuki ruangan. Dengan suara yang tenang namun penuh wibawa, ia menyampaikan materi mengenai 8 Kesiapsiagaan ASN kesiapan moral, kesiapan intelektual, kesiapan disiplin, kesiapan pelayanan, kesiapan perubahan, kesiapan digital, kesiapan kerja sama, serta kesiapan menghadapi tantangan zaman.
Keenam pegawai dari Kepulauan Seribu itu menyimak dengan mata tak berkedip. Kata-kata Abid terasa menyentuh titik terdalam pengabdian mereka. Bagi mereka, kesiapsiagaan bukan konsep teori; itu adalah kehidupan sehari-hari bangun lebih pagi, menyapu halaman sebelum murid datang, mengurus arsip meski listrik kadang padam, atau membersihkan ruang kelas saat hujan membuat atap rembes. Mereka merasakan bahwa apa yang disampaikan Abid adalah cermin dari perjalanan panjang mereka.
Usai pembinaan, mereka diarahkan untuk mengantre mengambil SK. Antrean itu panjang, bergerak pelan, tetapi di setiap langkah mereka seperti terselip potongan kenangan. Ashabul Kahfi berdiri paling depan, menahan degup jantung yang tak mau diajak kompromi. Di belakangnya Sukarno menarik napas panjang, sementara Badriyah dan Rika sesekali saling bertukar senyum kecil untuk menenangkan diri. Barkati dan Nuraeni berdiri berdampingan, merapikan jilbab dan seragam yang sejak pagi mereka pakai dengan penuh bangga.
Ketika nama pertama dari mereka dipanggil, dunia mendadak terasa lebih tenang. “Ashabul Kahfi…” Suara itu menggema, menembus ruang dan waktu. Ia maju dengan langkah pelan, menerima SK dengan tangan yang sedikit bergetar. Setelah itu menyusul Sukarno, Badriyah, Rika, Barkati, dan akhirnya Nuraeni. Masing-masing berjalan menuju meja seperti berjalan melewati jembatan panjang yang mereka bangun sendiri dari kesabaran dan ketekunan.
Tak ada sorotan kamera berlebih, tak ada tepuk tangan yang membahana. Namun di balik kesederhanaan itu, ada salah satu momen paling penting dalam hidup mereka. Selembar kertas tipis yang mereka terima adalah bukti bahwa pengabdian yang sering tak terlihat juga layak mendapatkan pengakuan. Mereka kembali ke tempat duduk dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, mencoba menahan rasa syukur yang meluap.
Di luar aula, hiruk pikuk Jakarta terus bergerak tanpa jeda. Namun bagi keenam pegawai tenaga kependidikan itu, waktu seolah berhenti sejenak. Mereka saling tersenyum, saling menepuk bahu, dan menggenggam erat SK masing-masing seolah takut harapan itu tiba-tiba hilang. Mereka menyadari bahwa apa yang mereka terima hari ini bukan hadiah, tetapi pengakuan atas kerja yang selama ini mereka lakukan dengan tulus.
Kelak ketika mereka kembali ke Kepulauan Seribu, kehidupan akan kembali berjalan seperti biasa. Mereka akan kembali menyapu halaman madrasah, merapikan berkas, mengangkat bangku-bangku yang berantakan, dan memastikan semua berjalan sebagaimana mestinya. Tetapi kini mereka membawa sesuatu yang jauh lebih besar: harga diri yang tumbuh dari pengakuan negara.
Pada akhirnya, di tengah semarak Hari Korpri ke-54, pembinaan tentang 8 Kesiapsiagaan ASN, antrean panjang, dan selembar kertas SK yang sederhana, keenam pegawai tenaga kependidikan itu menemukan makna baru tentang pengabdian. Bahwa bekerja dalam diam bukan berarti tidak berarti. Bahwa pengabdian sekecil apa pun, jika dilakukan dengan hati, pada akhirnya akan dipanggil ke depan untuk dihormati. (j)