Jakarta (Humas Kemenag DKI) --- Angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam satu dekade terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pernikahan terus menurun sejak 2013, dari lebih dari 2 juta pasangan pada 2018 menjadi hanya sekitar 1,5 juta pernikahan pada 2023. Penurunan ini diperkirakan masih berlanjut hingga 2025.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta, Adib, mengungkapkan beberapa faktor penyebab penurunan tersebut dalam wawancara dengan RRI Pro3 FM, Selasa (30/9/2025). "Perubahan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada 2019 yang menaikkan usia pernikahan dari 16 tahun menjadi 19 tahun menjadi salah satu penyebab," ujarnya, Selasa (30/09).
Data di DKI Jakarta menunjukkan tren serupa. Jumlah pernikahan yang tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) menurun dari 47.226 pasangan pada 2022, menjadi 44.252 pasangan pada 2023, dan terus turun menjadi 40.472 pasangan pada 2024 dari total populasi 4,2 juta penduduk.
Adib menjelaskan bahwa selain faktor regulasi, ada kecenderungan di kalangan generasi muda untuk menunda pernikahan. "Ada kesadaran untuk menunggu masa kematangan, baik dari sisi usia, ekonomi, maupun karir," katanya.
Fenomena "marriage is scary" atau ketakutan terhadap pernikahan juga menjadi salah satu pemicu. Maraknya informasi tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di media sosial serta fenomena hidup bersama tanpa ikatan resmi turut mempengaruhi keputusan generasi muda. "Fenomena itu tidak lepas dari pengaruh kebudayaan global yang cenderung memilih kebebasan," ungkap Adib.
Merespons kondisi ini, Kementerian Agama melakukan berbagai upaya berjenjang. Di tingkat sekolah, terdapat program Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS) yang bertujuan membangun kesadaran tentang pentingnya kesiapan memasuki jenjang pernikahan. "Tujuannya untuk membangun kesadaran bahwa pernikahan adalah jenjang yang harus dilalui untuk melanjutkan keberlangsungan generasi, namun harus dipersiapkan dengan matang," jelasnya.
Kementerian Agama juga mengeluarkan modul pendidikan kesehatan reproduksi, khususnya di madrasah dan sekolah. Program ini dirancang untuk membangun pemahaman tentang kesiapan fisik, mental, ilmu, dan ekonomi sebelum menikah.
Program "GAS Nikah" atau Gerakan Sadar Pencatatan Nikah juga diluncurkan untuk mendorong pernikahan resmi yang tercatat. "Nikah harus tercatat supaya ada akuntabilitas tanggung jawab yang berdampak secara hukum. Pernikahan di KUA tidak dipungut biaya sepeserpun," tegas Adib.
Menurut Kakanwil, Fenomena pernikahan siri yang tidak tercatat di KUA masih ditemui di masyarakat. Kementerian Agama mengimbau agar pernikahan dilakukan secara resmi dan tercatat untuk memberikan perlindungan hukum bagi pasangan dan keturunannya.
Adib menegaskan bahwa sosialisasi tidak hanya dilakukan di sekolah, tetapi juga di masyarakat melalui majelis taklim dan berbagai media. "Kami mengimbau kepada generasi muda yang sudah matang dari sisi usia, ekonomi, dan karir untuk tidak menunda pernikahan. Pernikahan adalah sunnah Rasul yang perlu dilaksanakan untuk melanjutkan estafet perjuangan generasi," pungkasnya.