Berita

Agama:Inspirasi Vs Aspirasi

Sabtu, 6 Maret 2021
blog

Illustrasi Foto (Kemenag RI DKI Jakarta)

Agama harus dijadikan sebagai Inspirasi dalam pembangunan bangsa, bukan sebagai aspirasi. Demikian Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menggelorakan semangat “Kementerian Agama Baru”, ketika dilantik menjadi Menteri Agama.

            Semangat “Kementerian Agama Baru”, yang digelorakan Yaqut Cholil Qoumas Menteri Agama, menjadi tantangan tersendiri ketika membaca hasil riset terhadap 149 negara di dunia, dimana terdapat top 10 negara yang paling bersih korupsi diukur dengan CPI (Corruption Perception Index), terbit tahun 2020 (Gallup Poll, 2009). Kesepuluh top negara mayoritas warganya menganggap agama tidak penting dalam hidupnya. Riset tersebut hanya mengeksplor satu pertanyaan saja: “apakah agama itu penting dalam hidupmu sehari- hari? Is religion important in your daily life ? Jawabnya pun hanya Yes or No.

Peran Agama ?

Hal yang menarik untuk dikaji, negara yang mayoritas warganya menganggap agama sangat penting justru berujung para pemerintahan yang tinggi level korupsinya. Laporan Transparancy Internasional, tahun 2020, mengeluarkan ranking korupsi untuk 179 negara. Top 10 negara yang paling bersih korupsi, dalam tanda kurung adalah prosentase pentingnya agama dalam hidup mereka; 1. New Zealand (33 persen), 2. Denmark  (19 persen), 3. Finland (28 persen), 4. Singapore (70 persen), 5. Switzerland (41 persen), 6. Sweden (15 persen), 7. Norway (22 persen), 8. Netherland (33 persen), 9. Luxembourgh (39 persen), 10. Germany (40 persen). Dan satu-satunya negara  dalam Top 10 negara di atas, Singapura nilai tertinggi 70 % menganggap agama penting.

Dan ada 5 negara dimana umat agama  yang mayoritas, menganggap agama penting namun mencerminkan ranking kebersihan pemerintahannya buruk; India (Hindu, 90 %, agama penting tapi urutan korupsinya 80 dari 179 negara yang diukur); Phillipines ( Katolik, 96 %, agama penting, korupsinya urutan 113 dari 179 negara); Arab Saudi (Islam, 93 %, agama penting, korupisnya  urutan 51 dari 179 negara); Thailand (Budha, 96 %, agama penting, korupsinya nomor 101 dari 179 negara); Indonesia (Islam, 97 %, agama penting, korupinya urutan  85 dari 179 negara). Jika dibuat rata- rata, di Top 10 negara tersebut, hanya 34 persen warga menganggap agama penting, (Denny JA-World, https://www.facebook.com.).

Terlepas dari metodologi riset tersebut di atas dapat diperdebatkan, hasil riset tersebut memberikan gugatan;  mengapa agama tak menjadi variabel penting mengikis korupsi ? Dan mengapa untuk kasus negara yang berhasil membuat pemerintahannya bersih, mayoritas publik tak menganggap agama penting dalam hidupnya? Dan sebalikya, negara yang mayoritas umat beragamanya menganggap agama penting tetapi ranking korupsi tinggi. Apakah ini berarti peran agama tak lagi penting di zaman modern?

Jawabannya: tergantung bagaimana agama itu ditafsirkan, dihayati, bukan sebagai aspirasi yang melahirkan tafsir agama secara sempit, simbolik dan formalistis tetapi agama harus menjadi inspirasi sebagaimana Menteri Agama Yaqut  Cholil Qoumas sampaikan.   

Inspirasi Vs Aspirasi

Max Weber, dalam bukunya; The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism, 2005, merupakan rintisan penelitian dan pendekatan baru dalam abad XX mengenai peranan kreatif agama dalam perubahan sosial, pembentukan kebudayaan. Perubahan kebudayaan terjadi pada saat manusia menerapkan akal budi dalam kehidupan sosial. Ini disebutnya “rasionalisasi”, yang akhirnya membawa masyarakat pada dominasi tehnologi dan birokrasi serta orientasi pragmatis dan efesiensi. Tendensi ke arah rasionalisaisi tumbuh dan didorong oleh agama sendiri dalam hal ini agama Kristen, terutama dalam Protestanisme. Rasionalisasi ini membawa tersingkirnya agama dari kebudayaan dan masyarakat, dan terciptanya dunia yang sekuler. Zaman ini memberi pengaruh dalam melahirkan keadaban publik.

Menurut Max Weber, agama merupakan faktor penting dalam perubahan sosial (Social agent). Agama sebagai sumber inspirasi dinamika perubahan sosial, bukan agama sebagai peneguhan struktur masyarakat (T. Parsona). Agama memberikan “kerangka makna”, inspirasi pada dunia dan perilaku manusia, suatu perspektif dengan mana manusia memahami dunia, kegiatannya, ruang di mana ia ada, waktu yang mengatur hidupnya dan masa depannya, termasuk kematiannya.

 Mengamati hasil survei di atas, kurang berperannya agama sebagai agen perubahan moralitas di tengah masyarakat dan dalam pembangunan pemerintahan yang bersih, menjadi tantangan tersendiri bagi Kementerian Agama, dan Lembaga-lembaga keagamaan. Bangsa ini mengaku religius (97 % menganggap agama penting) justru indeks korupsi tinggi (urutan  85 dari 179 negara) dan ketidakadilan masih menjadi keprihatinan bersama. Simbol agama ternyata tidak memberikan tanda yang signifikan (Signum Significatum) dalam membawa pembaharuan sesuai dengan fungsinya. Maka dalam membangun pemerintahan yang bersih, peran agama kiranya penting dikaji kembali, bukan sekedar memberi format agama di ruang publik (sebagai aspirasi) tetapi bagaimana menjadikan agama menjadi inspirasi mewujudkan moralitas publik dalam tatakelola pemerintahan yang bersih (good governence), transpran, akuntabel, kepatuhan pada hukum, dan integritas, kompetensi serta komitmen melayani aparatur sipil negara (ASN).

Ada tiga hipotesis yang bisa dikemukakan dari hasil riset di atas.  Pertama, jika kita menganggap bahwa agama tidak penting di dalam kehidupan sehar-hari dan impelementasinya dalam membangun keadaban publik; pemerintahan yang bersih, pemberantasan korupsi, maka agama akan kehilangan legitimasinya untuk berperan di dalam pembangunan. Kedua,  jika agama ikut berperan dalam membangun keadaban publik, pemerintahan yang bersih, maka dalam jangka panjang kemungkinan besar agama masih akan memiliki legitimasi – karena memang punya peran, saham dalam pembangunan bangsa. Ketiga, jika kita menganggap keikutsertaan agama di dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih hanya bersifat mozaik dan samar-samar, tidak memberikan sumbangan mendasar, maka hubungan antara agama di satu pihak dan perubahan sosial di pihak lain merupakan hubungan insidental. Dan dalam kondisi demikian agama akan dijadikan sebagai aspirasi; simbol, komoditi politik dan ekonomi.

Peran sosial agama dalam keadaban publik tidak bisa terlepaskan dari refleksi kehidupan beriman dalam realitas soisal. Berkembangnya pandangan hubungan antara nilai-nilai agama dengan masalah-masalah yang menyangkut kemaslahatan umum, seperti pemberantasan korupsi, sosiolog (Robert Bellah, 1967)  – meskipun tidak meletakkannya dalam konteks agama tertentu – melihatnya dalam perspektif civil religion. Dalam nada yang sama, (Jose Casanova, 2017) melihatnya dalam peran penting agama pada kehidupan sosial-politik. Itu semua diekspresikannya dalam konteks bahwa agama-agama itu bukan sekedar persoalan pribadi (private), tetapi justru persoalan publik, dimana agama harus memainkan perannya bukan sebagai aspirasi tetapi dalam posisi inspiratif dapat menggelorakan moralitas publik sebab agama bukan saja bersifat imanen tetapi berdaya transenden untuk kekuatan etis-moral yang dapat memberi wajah manusiawi terhadap proses pembangunan masyarakat, termasuk pembangunan politik.

             Dapat dimengerti bahwa moralitas publik di pemerintahan TIDAK ditentukan oleh banyak atau sedikitnya mereka yang meyakini agama. Dan pemerintahan yang bersih sangat kuat dipengaruhi sistem oleh manajemen modern; kontrol internal pemerintahan yang efektif, hadirnya lembaga pelacak korupsi (KPK), dan penegakan hukum (sanksi hukum kepada koruptor). Agama sejati yang sesungguhnya akan tetap dalam kesakralan, karena posisi Tuhan tidak akan pernah tersentuh hanya oleh eksistensi manusia dalam proses pembangunan. Agama harus ikut memberi pencerahan, sumber inspirasi, peneguhan suara hati (discerment),  menjadi daya kritis dan kritik terhadap kehidupan politik yang korup; kontrol batiniah dalam hati nurani umat beragama itu sendiri yang setiap kali dapat dipertajam oleh agama.

Manajemen modern dibangun oleh insan cendekia yang memiliki integritas moral yang tinggi, memiliki hati nurani yang diinspirasi oleh nilai-nilai moral Agama. Kebenaran itu bagaikan cahaya matahari, menyilaukan, membuat orang enggan memandangnya berlama-lama (Karl Poper, 2008). Agama sebagai sumber inspirasi memang maya tetapi bisa jadi perangkap, sebab sekali manusia terperangkap, ia akan terus gelisah mencari dan mengamalkannya, sebab agama itu bersifat transenden dan sekaligus imanen. Kaidah-kaidah agama yang memberi legitimasi kekuasaan telah diinternalisasikan dalam suara hati manusia. Justru kontrol sosial agama yang sangat diharapkan ialah membentuk suara hati orang sehingga dia berani menolak korupsi, kekerasan serta pelanggaran hak asasi manusia.

Agama sebagai inspirasi untuk mewujudkan “Kementerian Agama Baru” diterjemahkan oleh Yaqut Cholil Qoumas Menteri Agama dengan beberapa kata kunci: Pertama, manajemen pelayanan dan tata kelola birokrasi yang semakin baik, kedua, penguatan moderasi beragama; penguatan literasi keagamaan, budaya toleransi, dan nilai-nilai kebangsaan, dan ketiga, persaudaraan umat seagama, sebangsa dan setanah air dan mengembangkan persaudaraan kemanusiaan (Hari Amal Bakti Kementerian Agama ke 75, 3 Januari 1946 – 3 Januari 2021).

Semoga “Kementerian Agama Baru” yang hendak dibangun Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dapat mendorong agama sebagai inspirasi dan fungsi kritik kenabian agama dalam memberikan pengaruh membangun keadaban publik, dan pendidikan kepada umat beragama; menegaskan kembali bahwa kesatuan antara ibadah dan amal tidak bisa dipisahkan. Artinya, jika kita menyatakan diri masyarakat atau bangsa yang religius, maka harus tercermin dalam kehidupan nyata, mendudukkan agama dalam persfektif kehidupan manusia secara proporsional, tanpa harus mengurangi nilai kesakralan suatu agama.

Keberagamaan yang mengakar dalam suatu kebudayaan dapat sebagai daya kreatif manusia untuk bertransformasi, berkembang secara dinamis dalam pembangunan bangsa, dan terbuka menanggapi realitas dengan dialog nilai-nilai iman dan kemanusiaan itulah semangat habitus baru bangsa yang perlu didorong oleh agama.   

Peran agama dalam pembangunan jangan sampai menjadi mesianisme pathologis (hanya kami dapat menyelamatkan dunia atau yang diselamatkan). Ibadah yang otentik mengikat kita pada tanggung jawab bersama dalam ketundukan kepada Allah memberikan kepada kita rasa mencicipi kemenangan dari kuasa Allah, memelihara hidupnya api iman, pengharapan dan cinta kasih sebagai inspirasi membangun kehidupan bersama.

  • Tags:  

Terkait