Jakarta (Humas Kankemenag Kota Jakarta Utara) — Suasana hening menyelimuti layar demi layar Zoom malam itu, Senin (6/10/2025). Dari berbagai sudut negeri, ribuan wajah tampak menunduk khusyuk. Mereka bukan sekadar peserta rapat daring, melainkan satu suara dalam doa dan istigasah nasional yang digelar Kementerian Agama Republik Indonesia untuk memohon keselamatan bangsa dan mendoakan para santri korban musibah di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur.
Dari kantor wilayah hingga madrasah, dari pesantren besar di Jawa sampai pelosok Kalimantan, lantunan doa menggema serempak. “Kami memohon kepada Allah agar para santri yang wafat ditempatkan di sisi terbaik,” ujar seorang pengasuh pesantren di sela istigasah.
Dipimpin langsung oleh Menteri Agama, Nasaruddin Umar, kegiatan ini menjadi momen kebersamaan spiritual lintas daerah. Dalam sambutannya, Menag menyebut para santri yang wafat sebagai syuhada pejuang ilmu yang berpulang di jalan kebaikan, “Kita semua berduka terhadap para syuhada di Ponpes Al-Khoziny. Semoga para malaikat kecil ini ditempatkan di surga-Nya Allah,” ucap Menag dengan nada bergetar.
Bagi Nasaruddin, tragedi ini bukan hanya peristiwa duka, tetapi juga pengingat akan ketulusan para penuntut ilmu. “Mereka wafat dalam keadaan suci, menuntut ilmu agama. Tak ada kematian yang lebih mulia dari itu,” tambahnya.
Musibah di Ponpes Al-Khoziny terjadi pada Selasa siang. Musala yang biasa digunakan untuk beribadah tiba-tiba runtuh dan menimpa sejumlah santri di dalamnya. Beberapa di antaranya meninggal dunia, sementara yang lain mengalami luka-luka. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memastikan seluruh korban telah dipulangkan ke keluarga masing-masing.
Namun di balik duka itu, malam istigasah menghadirkan sesuatu yang berbeda: rasa kebersamaan. Tidak ada sekat wilayah, jabatan, atau institusi. Semua satu dalam kepedulian. Kepala madrasah, pengasuh pesantren, ASN, hingga para santri muda semua ikut bersuara dalam doa.
Usai istigasah, Menag juga menyampaikan apresiasi terhadap keberhasilan pelaksanaan Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) 2025 di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, yang berakhir sehari sebelumnya. Ajang yang mempertemukan ribuan santri dari 34 provinsi serta sembilan negara sahabat itu berjalan penuh kehangatan dan gotong royong.
“Wajo membuktikan bahwa nilai-nilai pesantren, keramahan, keikhlasan, dan semangat ilmu masih hidup di tengah masyarakat,” puji Menag.
Malam itu, doa dari seluruh penjuru Indonesia mengalir dalam satu arah: ketulusan. Di tengah layar Zoom yang mulai gelap, masih terdengar sayup doa dari seorang guru pesantren, “Ya Allah, jadikan duka ini penguat iman kami, dan ilmu mereka yang terhenti, menjadi cahaya bagi negeri.”
Dan di situlah, arti sebenarnya dari istigasah bukan hanya memohon, tapi juga merajut kembali rasa persaudaraan dan empati yang membuat bangsa ini tetap kuat.