Jakarta – (Humas MAN 3 Jakarta) – Dalam upaya memperkenalkan gerakan cinta Museum, Museum Kebangkitan Nasional Jakarta menyelenggarakan kegiatan yang bertemakan “Belajar Bareng di Museum”, Kamis (8/11).
Kegiatan ini diikuti oleh 150 siswa pelajar dari SMA 30, SMA 1, SMA KETAPANG, SMA 68,S MA TAMAN MADYA dan MAN 3 JAKARTA. Selain mendapat materi tentang perkembangan gedung saat masa penjajahan dan sesudahnya sampai sekarang, mereka juga berdiskusi tentang sejarah perkembangan gerakan kebangkitan nasional.
Mardi Thesianto mengatakan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan pengetahuan tentang sejarah perjuangan bangsa. Kepala Museum Kebangkitan Nasional ini membidik para remaja dengan harapan kegiatan ini dapat menjadi salah satu cara pembentuk karakter di kalangan generasi milenia.
Gedung Museum Kebangkitan Nasional yang berlokasi di Jalan Abdurrahman Saleh No.26, tak jauh dari Pasar Senen ini dibangun pada tahun 1899 tapi sempat terhenti dan baru pada tahun 1902 gedung ini diresmikan. Setelah diresmikan gedung ini pernah digunakan untuk rumah sakit, sekolah dokter jawa dan sekolah apoteker.
Kekhawatiran akan kurangnya tenaga kesehatan untuk menghadapi berbagai macam penyakit berbahaya di wilayah-wilayah jajahannya, membuat pemerintah kolonial menetapkan perlunya diselenggarakan suatu kursus juru kesehatan di Hindia Belanda. Pada 2 Januari 1849, dikeluarkanlah Surat Keputusan Gubernemen no. 22 mengenai hal tersebut, dengan menetapkan tempat pendidikannya di Rumah Sakit Militer (sekarang RSPAD Gatot Subroto) di kawasan Weltevreden, Batavia. STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) adalah sebuah sekolah dokter yang masih berkembang dengan nama Sekolah Dokter Jawa yang yang didirikan pada tahun 1851 di Rumah Sakit Militer Weltevreeden atau yang sekarang disebut Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Karena perkembangan yang pesat, STOVIA kemudian pindah dari daerah Kwini Senen ke Salemba yang kini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kampus yang terletak di Kwini sejak tahun 1926 dialihfungsikan menjadi tempat pendidikan MULO, setingkat SMP dan AMS, setingkat SMA.
Pada tahun 5 Juni 1853, kegiatan kursus juru kesehatan ditingkatkan kualitasnya melalui Surat Keputusan Gubernemen no. 10 menjadi Sekolah Dokter Djawa, dengan masa pendidikan tiga tahun. Lulusannya berhak bergelar "Dokter Djawa", akan tetapi sebagian besar pekerjaannya adalah sebagai mantri cacar. Selanjutnya Sekolah Dokter Djawa terus-menerus mengalami perbaikan dan penyempurnaan kurikulum. Pada tahun 1889 namanya diubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen (atau Sekolah Pendidikan Ahli Ilmu Kedokteran Pribumi), lalu pada tahun 1898 diubah lagi menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (atau Sekolah Dokter Pribumi). Akhirnya pada tahun 1913, diubahlah kata Inlandsche (pribumi) menjadi Indische (Hindia) karena sekolah ini kemudian dibuka untuk siapa saja, termasuk penduduk keturunan "Timur Asing” dan Eropa, sedangkan sebelumnya hanya untuk penduduk pribumi.
Yang menarik dalam model pendidikan di STOVIA adalah dari sekitar 700 siswa yang lulus ujian dan masuk dengan biaya sendiri, ternyata hanya sekitar 100 orang yang berhasil lulus dan menamatkan pendidikannya, karena proses pembelajaran yang ketat dan betul-betul sulit. Disekolah dokter jawa tidak ada sistem remedial, jadi kalau tidak lulus ya bener-benar tidak lulus. Beberapa tokoh pergerakan seperti Ki Hadjar Dewantara, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan R. Soetomo pernah menimba ilmu.
Ketika Netty Nirmala menanyakan “bagaimana kalau sistem pendidikan STOVIA ini diterapkan di MAN 3 Jakarta ?”, Guru sejarah ini mendapatkan jawaban kompak dari seluruh siswa MAN 3 yang ikut, “ Jangan bu, kita tidak kuat, nanti banyak yang tidak lulus, karena mapelnya kan banyak.”
Gedung ini juga merupakan saksi lahirnya organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan, yaitu Boedi Oetomo, Trikoro Dharmo (Jong Java), Jong Minahasa, dan Jong Ambon. Komplek gedung berbentuk segi empat ini pernah dijadikan empat buah museum yaitu Museum Budi Utomo, Museum Wanita, Museum Pers dan Museum Kesehatan sampai akhirnya pada 7 Februari 1984 menjadi Museum Kebangkitan Nasional. /SM