Kurang lebih 20 tahun yang lalu, dalam sebuah akhlak tasawuf yang disampaikan beliau alm. Hadrsatusy Syekh Romo KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi, di Pesantren Al Fitrah, Surabaya, yang penting adalah peringatan di zaman yang serba terbalik. Beliau menyampaikan sebuah kalimat sederhana, tetapi memiliki makna yang cukup dalam, "ro'aa munkaron ma'ruufan, wa ma'ruufan munkaron", yang buruk terlihat baik, yang baik terlihat buruk ".
Di era disruptif ini, menunjukkan bahwa dawuh semakin terbukti, saat itu Beliau Alm. Hadrsatusy Syekh Romo KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi ra mencontohkan fenomena yang terjadi di masyarakat, orang banyak mengaku kiai, padahal dia bukan kiai, banyak orang atau kelompok yang mengaku dan paling benar, banyak orang atau kelompok yang mengaku paling selamat, akhirnya yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Subhanallah, untuk memperlakukan zaman yang demikian, beliau mendoakan jama'ah agar diberikan dari berbagai macam fitnah, kedzaliman, dan tetap istiqomah dalam menjalani agama Islam sesuai dengan tuntunan guru dan amaliyah salafunassholikh.
Lihatlah saat ini, sebagain ulama berpandangan ini adalah bagian dari tanda akhir zaman, tanda kiamat sudah dekat. Disebutkan dalam sebuah hadist; "Pada akhir zaman akan muncul pembohong-pembohong besar yang datang kepadamu dengan membawa berita-berita yang belum pernah kamu dengar dan belum pernah didengar oleh ayah kamu sebelumnya, karena itu jauhkanlah diri dari mereka agar mereka tidak menyesatkanmu dan memfitnahmu." HR Muslim
Teknologi semakin canggih, informasi semakin cepat tersebar. Namun tak jarang, informasi yang tersebar itu merupakan berita bohong, pengalihan isu bahkan hal yang sebaliknya.
Pada kondisi lain, dalam sebuah hadis mencerminkan; “Di antara tanda-tanda koreksi kiamat dunia ini akan dikuasai oleh Luka 'bin Luka' (orang yang bodoh dan hina). Maka orang yang paling baik adalah orang yang beriman yang diapit oleh 2 orang mulia ”HR Thabrani.
Belakangan, akhir-akhir ini, banyak sekali yang tadinya orang biasa, tiba-tiba saja tiba-tiba ada seorang kiai, seorang ustadz, seorang habib, seorang imam besar, dan lain sebagainya. Tampak jelas bahwa "lebeling" yang dilakukan hanya untuk meraih simpatik dan pengaruh belaka. Pada kondisi sosial lainnya, dapat disaksikan orang yang dulunya tidak punya track record kepemimpinan dan keulama'an yang teruji, tiba-tiba muncul dan diper yg akan menjadi tenaga yang akan mendatangkan berkah, keadilan dan kesejahteraan.
Hal ini merupakan hal yang dilakukan oleh pengulangan sejarah dan pembuktian hadis Rasulullah Muhammad SAW. Pada masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin hal yang sama juga terjadi. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: “Dari kelompok orang ini (orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim Al Najdi), akan muncul lagi orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan pergi para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya aku masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum 'Ad. ”(HR Muslim 1762).
Kalimat yang berarti "mereka yang membaca Al Qur'an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan" adalah kalimat majaz. "Tidak berlalu kerongkongan" kiasan dari "tidak sampai ke hati" artinya mereka membaca Al Qur'an namun tidak menjadikan mereka berakhlakul karimah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertumbuh ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah jauh kepada Allah sejauh puluhan tahun”
Semakin banyak mengenal Allah (ma'rifatullah) melalui ayat-ayat-Nya qauliyah dan kauniyah, maka semakin dekat hubungan dengan-Nya. Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah ta'ala. Ulama (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka berlakunya Allah ta'ala yang semakin dekat dengan menghasilkan maqom disisiNya.
Selain diperibahasakan oleh orang tua lagi seperti itu, semakin tebal semakin tebal, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Akan munculkan sekte / firqoh / kaum dari orangku yang pandai membaca Al Qurʻan. Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat Anda dari shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qurʻan dan mereka menyangka bahwa Al Qurʻan itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qurʻan itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam artinya anak panah meluncur dari busurnya ”. (HR Muslim 1773)
Begitupula kalimat yang berarti "mereka sholat tetapi tidak sampai melewati batas" adalah kalimat majaz. “Tidak sampai melewati batas” kiasan dari “tidak sampai ke hati” artinya sholatnya tidak mencegah perbuatan keji dan mungkar, sholatnya tidak menjadikannya berakhlak mulia.
Perspektif sosiologis menunjukkan bahwa gesekan ideologi dalam konstalasi politik saat ini, semakin menemukan momentumnya. Polarisasi kelompok idoelogis semakin menguatkan pro dan kontra. Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan simpatik masyarakat dan kemenangan, meskipun dengan cara yang tidak berakhlak mulia. Satu dengan lainnya saling mengisi, saling menghujat, selalu tidak baik, tidak selalu benar, di sisi lain yang paling benar, paling baik, paling bisa memberikan solusi, dan prilaku "kesucian" lainnya.
Dari narasi pembuktian sejarah yang terulang, fenomena akhir zaman, atau bacaan dari renungan mendalam dari ulama sufi, dan polarusasi politik aliran, sangat penting bagi masyarakat Indonesia, terutama para elit untuk berfikir jernih, bermuhasabah diri tentang apa akibat dari sikap mejamurnya "kullu hizbin bimaa ladaihim farihuun "?, setiap kelompok paling tepat, setiap kelompok hanya Sendiri diri dan kelompoknya sendiri. Bagaimana nasib sehat, masyarakat, rakyat, bangsa, dan negara ke depan?, Lantas apa yang harus dilakukan bersama untuk mengubah kondisi yang akan melipatgandakan rasa persaudaraan antar sesama muslim, sesama bangsa yang hidup dalam satu negara?, Tentu semua "kita" ingin hidup di "Negeri Surga" dengan lingkungan yang baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur.
Diterjemahkan dari, Sangat Penting, dan Diterapkan untuk Mengembangkan Kapasitas-Kapasitas Gerakan Nasional Berbasis keteladanan (uswah) akhlak mulia. Kepemimpinan yang mengacu pada filosofi dasar diutusnya Rasulullah Muhammad SAW, yaitu mengedapankan akhlak mulia. Tambahan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus untuk mengajak manusia agar beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja dan memperbaiki akhlak manusia. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik."
Sesungguhnya antara akhlak dengan 'aqidah ada hubungan yang sangat kuat sekali. Karena akhlak yang baik sebagai bukti dari keimanan dan akhlak yang buruk sebagai bukti atas lemahnya iman, semakin sempurna akhlak seorang Muslim berarti semakin kuat imannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Kaum Mukminin yang paling sempurna adalah yang paling baik di antara mereka, dan yang paling baik di antara Anda adalah yang paling baik untuk isteri-isterinya".
Mursyid thoriqoh qodiriyah wa naqsabandiyah al-Ustmaniyah, alm. Hadrsatusy Syekh Romo KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi ra mengatakan "ada teman yang bisa mengingat dan dekat dengan Allah SWT". Orang yang dapat menemukan "rasa" indahnya ingat dan dekat dengan Allah SWT, pasti akan menunjukkan prilaku akhlak yang mulai, terhindar dari akhlak tercela, tidak sampai terbersit sedikitpun untuk berprasangka buruk kepada orang lain, membakar orang lain, membersihkan menghinakan orang lain. Dalam tazkiyatun nufus dalam kajian tasawuf dikenal dengan tahapan tekholli, tahalli, dan tajalli.
Akhlak mulia yang muncul dari jiwa yang bersih (tazkiyatun nufus) karena proses pengamalan ajaran agama Islam yang akan membawa pada pribadi uswatun hasanah bagi orang-orangnya, menjadi penyejuk dan qurrata 'ayun bagi mahluk disekelilingnya. Itulah esensiahami, mendalami, dan mengamalkan nilai keislaman, keimanan, dan disempurnakan dengan "ke-ihsan-an".
Walhasil, menjadi pribadi yang baik adalah impian semua orang, beragama dengan kaffah tugas semua hamba, mendapatkan dunia dan akhirat adalah tujuan semuanya. Untuk mencapai dan mewujudkannya secara tuntunan Rasulullah Muhammad SAW perlu dasar pemahaman dan pengamalan agama di dalam, hingga menemukan rasa mahabbatullah dan ma'rifatullah. Pancaran rasa itu, adalah jati diri akhlakul karimah, yang tidak hanya pada maqom islam, iman, tapi istiqomah dalam ke-ihsan-an.
* Penulis adalah Guru MTsN 34 Jakarta / Ketua MGMP Fikih MTs DKI Jakarta