Kajian pekan ini mengangkat Firman Tuhan yang diambil dari: Lukas 10:30-35
30. Jawab Yesus: "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. 31. Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. 32. Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. 33. Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. 34. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. 35. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.
Kita bersyukur kepada Tuhan bahwa kita ditempatkan di Indonesia yang plural ini. Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, memiliki penduduk sekitar 280 juta jiwa. Kita hidup di tengah keberagaman; baik suku, bahasa dan agama. Sehingga bangsa kita dikenal dengan bangsa yang multikultural.
Bagaimana kita sebagai umat Kristen hidup di tengah keberagaman ini? Bagaimana kita dapat hidup berdampingan dan rukum dengan orang yang berbeda dengan kita?
Tuhan Yesus mengajari kita agar kita mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Hal ini sangat dapat dipahami. Sebab Tuhan yang sama yang menciptakan kita dengan orang lain.
Allah mengasihi semua manusia tanpa memperhatikan latar belakang suku, bangsa, budaya, bahasa dan agamanya. Allah yang memberikan matahari bagi orang yang baik dan orang yang jahat. Dia juga yang memberikan musim-musim bagi semua umat manusia. Kita semua adalah sesama umat ciptaan Tuhan.
Ada beberapa hal yang menyatakan bahwa semua umat manusia adalah sama, yaitu:
1. Semua manusia adalah diciptakan oleh Tuhan yang sama – Ef. 2:10
2. Semua manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah – Kej. 1:26
3. Semua manusia memiliki roh di dalamnya untuk menyembah Allah – Zak. 12:1, Yoh. 4:24
4. Semua manusia adalah bejana untuk diisi oleh Tuhan – Rm. 9:21-23
5. Allah mengasihi semua manusia – Yoh. 3:16
6. Allah menghendaki semua manusia diselamatkan – 1 Tim. 2:3-4
7. Tuhan Yesus mati untuk semua manusia – Rm. 5:8
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa kita semua adalah sama. Agar kita dapat hidup rukun dan damai di Negara Keatuan Repubilik Indonesia ini, maka kita perlu melihat persamaan-persamaan kita dengan yang lain, sehingga kita dapat saling memperhatikan, saling menolong dan saling bekerja sama dan bergotongroyong untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik.
Firman Tuhan di atas mengajarkan kita bahwa kita tidak hanya dapat hidup rukun dengan yang berbeda dengan kita, bahkan kita juga bisa menolong dan melayani mereka yang tidak sama dengan kita. Tuhan Yesus menyampaikan itu adalah untuk menjawab pertanyaan seorang ahli Taurat yang menanyakan siapakah sesama manusia itu. Potongan firman di atas memperlihatkan kepada kita bahwa ada seorang yang mengalami perampokan disertai kekerasan. Bukan saja hartanya dirampok habis-habisan bahkan dianiaya sampai setengah mati dan ditinggalkan sendirian dalam keadaan sekarat.
Mungkin kita akan bertanya: Siapakah orang yang dirampok ini? Walau tidak disebut dengan jelas mengenai suku, bangsa atau agamanya. Namun, karena perkataan ini disampaikan Tuhan Yesus untuk menjawab pertanyaan seorang ahli Taurat dan karena orang yang dirampok ini datangnya dari Yerusalem, maka dapatlah kita ketahui bahwa orang yang dirampok ini adalah orang Yahudi.
Saat itu berkembang aliran sauvinis, yang berpandangan sempit, yang menganggap bahwa sesama itu adalah sebangsa dan seagama. Samaria adalah satu daerah utama di bagian utara negara Israel, juga adalah lokasi ibukotanya (1 Raj. 16:24, 29). Sekitar tahun 700 SM, orang-orang Asyur menaklukkan tempat ini, lalu membawa orang-orang dari Babel dan negara-negara kafir untuk mendiaminya (2 Raj. 17:6, 24). Sejak saat itu, penduduk di sana (orang-orang Samaria) menjadilah masyarakat berdarah campuran antara orang-orang kafir dan orang-orang Yahudi. Tetapi orang-orang Yahudi tidak mengakui mereka sebagai salah satu bagian dari orang-orang Yahudi.
Ketika melihat bahwa ada orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan, hati orang Samaria ini tergerak oleh belas kasihan, langsung menolong orang yang hampir mati itu. Sebenarnya orang Samaria ini memiliki banyak alasan untuk tidak menolong tersebut: orang Yahudi tidak bersahabat dengan orang Samaria; orang Yahudi tidak menganggap bahwa bahwa orang Samaria itu bagian dari orang-orang Yahudi; orang Yahudi menghindari untuk bergaul bahkan berpapasan dengan orang Samaria; orang Yahudi menganggap orang Samaria sebagai kelas kedua.
Saya teringat Lukman Hakim Saifuddin selaku tokoh moderasi beragama mengatakan: “Moderarsi beragama tak pernah menggunakan istilah ‘musuh’, ‘lawan’, ‘perangi’, atau ‘singkirkan’ terhadap mereka yang dinilai berlebihan dan melampaui batas dalam beragama. Sebab tujuan moderasi beragama adalah mengajak, merangkul, dan membawa mererka yang dianggap berlebihan dan melampaui batas, agar bersedia ke tengah untuk lebih adil dan berimbang dalam beragama. Selain itu, dalam moderasi beragama tidak mengenal seteru dan permusuhan, melainkan bimbingan dan pengayoman terhadap mereka yang ekstrem sekalipun” Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa dalam hal moderasi beragama, bukan agamanya yang perlu dimoderasi tapi cara kita menjalankan agama, implementasi beragama dalam kehidupan sehari-hari itu yang perlu dimoderasi.
Saudara, mungkin Anda adalah sebagai pejabat publik atau tokoh masyarakat, mungkin Anda sebagai pimpinan di suatu perusahaan, mungkin pula Anda adalah ASN. Tuhan telah menempatkan kita di negara yang multikultural ini. Siapun pun kita, kita adalah orang-orang Samaria hari ini, kita adalah para hamba Tuhan, yang Tuhan tempatkan di posisi kita masing-masing, kita adalah pelayan kehidupan.
Walau orang Samaria itu tidak dipandang oleh orang Yahudi. Tetapi, begitu melihat orang itu sedang sekarat, orang Samaria itu segera menolong, tanpa menanyakan agamanya, tidak menanyakan identitasnya, juga tidak mempersoalkan bagaimana sikap orang Yahudi selama ini terhadap orang Samaria. Semoga Tuhan terus memberkati kita, sehingga hati kita terjaga seperti orang Samaria ini, yaitu mudah tergerak oleh belas kasihan. Bila seseorang itu bukan saudara seiman, dia pasti saudara dalam kemanusiaan. Amin
Pdt. DR. Altin Sihombing, SH, MH (Gembala Sidang di Gereja Sidang Jemaat Kristus)