Jakarta (Humas Kemenag DKI) --- Delegasi Indonesian Interfaith Scholarship (IIS) 2025 mengungkapkan kekaguman mereka terhadap praktik kerukunan dan moderasi beragama di Indonesia. Dalam kunjungan resmi ke kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jumat (14/11/25), para peserta dari Austria, menyampaikan apresiasi atas kehidupan keberagamaan di Indonesia yang dinilai unik dan inspiratif.
Ketua perwakilan delegasi Austria, Alexander Rieger, menilai Indonesia memiliki model sosial yang jarang ditemukan di negara lain. “Sungguh suatu kehormatan dapat bertemu dengan PBNU. Austria dan Indonesia sudah bekerja sama dalam dialog lintas agama sejak 2010, dan kami ingin terus belajar bagaimana masyarakat dari berbagai agama dapat hidup berdampingan secara damai,” ujarnya.
Apresiasi serupa disampaikan Elif Medeni, Profesor dari University College of Teacher Education of Christian Churches in Austria. Ia menilai Indonesia memiliki modal sosial yang tinggi dalam merawat keragaman sehingga menjadi contoh penting bagi negara lain.
“Saya sangat tertarik melihat bagaimana moderasi Islam dipraktikkan di Indonesia. Dalam konteks Eropa, kami menghadapi tantangan toleransi yang berbeda. Di sini saya belajar bagaimana pendidikan dan kehidupan sosial dapat membentuk masyarakat yang inklusif,” ungkapnya.
Dalam paparannya, Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf atau kerap disapa Gus Yahya, memberikan penjelasan mendalam mengenai pendekatan teologis dan sosial yang dikembangkan NU sebagai upaya membangun Islam yang moderat dan selaras dengan peradaban modern.
Ia menegaskan bahwa akar dari banyak konflik global sering kali berasal dari interpretasi keagamaan yang tidak sesuai dengan realitas kontemporer. Karena itu, NU terus mendorong penguatan kerangka teologis yang ramah dan konstruktif.
“Gagasan utama kami adalah bagaimana Islam dapat ditampilkan kepada dunia dengan wajah yang damai dan bersahabat. Di Indonesia, ada dinamika panjang dalam merumuskan pemahaman teologis Islam yang lebih sesuai dengan realitas peradaban modern,” terang Gus Yahya.
Ia menjelaskan bahwa Islam memiliki tradisi ijtihad yang luas, namun tetap membutuhkan rujukan prinsip bersama. NU menekankan pentingnya kembali pada konsep ijma’ atau konsensus universal, terutama untuk membangun tatanan dunia yang damai.
“Di seluruh tradisi Islam, tidak ada ulama yang menolak prinsip konsensus. Konsensus dunia hari ini adalah Piagam PBB, yang menjamin kesetaraan martabat dan penghormatan atas batas-batas kedaulatan. Jika semua pihak berkomitmen pada konsensus itu, jalan menuju perdamaian lebih terbuka,” tegasnya.