Uṭṭhānavato satīmato, sucikammassa nisammakārino,
saññatassa dhammajīvino, appamattassa yasobhivaḍḍhati
Kehormatan berkembang pada ia yang rajin, penuh perhatian, berperilaku bersih,
penuh pertimbangan, berpengendalian, berpenghidupan sesuai dhamma, dan tidak lengah
(Dhammapada, syair 24)
Salah satu budaya yang merupakan warisan luhur bangsa Indonesia adalah “Gotong royong”, yang berarti suatu usaha untuk bekerja bersama dan mencapai hasil yang didambakan. Istilah ini berasal dari bahasa Jawa yaitu gotong yang berarti "mengangkat" dan royong berarti "bersama-sama". Gotong royong sampai saat ini masih menjadi salah satu dasar filsafat masyarakat Indonesia yang sejalan dengan cita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam prasasti Manjusrighra yang ditemukan di komplek Candi Sewu menjelaskan bahwa Candi Sewu (Manjusrighra) merupakan persembahan mulia raja yang pembangunannya dilakukan secara bergotong royong. Hal tersebut membuktikan bahwa budaya masyarakat dalam hal gotong royong telah terjadi masa kejayaan kerajaan Buddha.
Pembangunan candi yang melibatkan banyak orang merupakan bentuk konkret pelaksanaan gotong royong. Semangat ini sangat relevan dengan indikator dalam pencapaian moderasi beragama; yaitu adanya penerimaan terhadap tradisi, dimana gotong royong masih sejalan dengan nilai-nilai keagaman dan wawasan kebangsaan.
Meskipun pada dasarnya agama Buddha adalah agama yang mementingkan etika dan perkembangan karakter individu, Buddha tidak menampik manusia mencari kekayaan untuk memenuhi kebutuhannya. Ini berarti bahwa upaya meningkatkan moralitas dan batin juga perlu diimbangi dengan tingkat kesejahteraan dan kebahagian ekonomi.
Sejalan dengan semangat gotong royong, Buddha mengajarkan umat-Nya untuk membangun ekonomi demi kesejahteraan bersama. Dalam beberapa khotbah-Nya, Buddha menerangkan bahwa materi merupakan suatu hal penting dalam kehidupan kita. Anguttara Nikaya V, 4:41 menunjukkan bagaimana kekayaan hendaknya diperoleh dengan bekerja giat, dikumpulkan dengan kekuatan sendiri dengan cara yang benar, hasilnya bermafaat untuk kebahagiaan diri, orang tua, istri, anak-anak, para karyawan/pekerja.
Sementara itu, Sigalovada Sutta mengajarkan bagaimana membagi harta yang telah diperoleh dengan baik, yaitu: “ekena bhoge bhujeyya (satu bagian untuk dinikmati), dvihi kammam payojaye (dua bagian untuk dijadikan kembali modal usaha), catutavca nidhapeyya (bagian ke empat disimpan), apadasu bhavissanti (untuk menghadapi masa depan yang sulit)”. Hal terpenting dari bagaimana kita mewujudkan keseimbangan ekonomi dan kemajuan batin tercermin dari praktik cara hidup sederhana yang diajarkan Buddha. Dalam Karaniyametta Sutta, Buddha menyatakan: “santussako ca subharo ca (merasa puas, mudah disokong/dilayani); appakicco ca sallahuka-vutti (tiada sibuk, sederhana hidupnya); santidriyo ca nipako ca (tenang inderanya, berhati-hati);
Sikap gotong royong dan bekerjasama di masa kini sampai kapanpun tetap relevan menjadi sumber dalam mengembangkan moderasi beragama, dalam bekerjasama meningkatkan ekonomi umat, maupun aktifitas lainnya yang yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin serta memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Penulis: Suwono, S.Ag (Penyuluh Agama Buddha Kota Batu, Provinsi Jawa Timur)