Jakarta (Inmas) --- Penunjuk waktu digital di ruangan Serba Guna 2 (SG 2) Asrama Haji Pondok Gede menunjukkan pukul 00.10 dini hari. Saat itu, bus Damri pengantar jemaah baru saja terparkir di halaman gedung. Beberapa jemaah terlihat turun dari bus dan masuk ke ruang penerimaan.
Sepuluh meja berjejer di tengah ruangan. Para jemaah, bergantian mengambil minuman panas dan makanan ringan yang telah disediakan. Letih karena perjalanan yang cukup panjang seakan terobati saat mereka menyeruput teh, kopi, maupun susu panas yang tersaji.
Di salah satu sisi ruangan, Yumnah (92), mulai mengunyah dengan perlahan kue bolu yang disuapkan ke dalam mulutnya. Sementara, Dahyar (53) sabar menunggu Yumnah membuka mulut lagi untuk suapan berikutnya.
Dahyar sengaja memotong kue bolu menjadi kecil dan mencelupkannya ke dalam susu. Ini agar perempuan tua yang telah kehilangan semua giginya itu, lebih mudah menelan kue yang sebenarnya sudah lembut. Segelas susu hangat pun ia suapi perlahan kepada perempuan tua di depannya.
Tak banyak cakap. Namun tatapan penuh kasih Dahyar tak beralih dari sosok perempuan tua yang duduk di atas kursi roda itu. Suapan demi suapan dia berikan. Sesekali, dengan lembut ia membetulkan letak jilbab putih yang dikenakan Yumnah.
“Ini ibu saya,” terang Dahyar kepada Inmas, Kamis (14/09), sambil tetap menyuapi ibundanya. Ia bahkan tak menghiraukan minuman miliknya sendiri yang mulai mendingin.
Mereka baru saja tiba sepuluh menit yang lalu di Asrama Haji Pondok Gede setelah perjalanan panjang dari tanah suci. Bersama ibunda dan istrinya, Dahyar tergabung dalam kloter 15 Embarkasi Jakarta - Pondok Gede (JKG 15), asal Kota Tangerang, Provinsi Banten.
Kepada Kemenag, Dahyar bertutur tentang perjalanannya ke Tanah Suci. Menurutnya, pergi ke Tanah Suci merupakan salah satu impian Yumnah. Sebagai anak, Dahyar merasa berkewajiban untuk mewujudkan impian sang ibunda. Ketika impian itu dapat terwujud, rasa syukur tak hentinya terucap dari mulutnya.
“Alhamdulillah meskipun sudah sepuh sekali, ibu masih bisa berangkat ke Tanah Suci,” kata Dahyar dengan mata berkaca-kaca.
Kondisi fisik Yumnah yang lemah serta tak mampu berkomunikasi lagi, tak menyurutkan niat Dahyar untuk tetap membawa ibunya ke Tanah Suci. “Meskipun di sana harus saya gendong, tapi saya puas sekali,” ujarnya.
Punggung dan tangannya memang ia sediakan untuk menopang perempuan yang telah melahirkannya 53 tahun silam. Niat Dahyar hanya satu, agar sang ibunda dapat melihat Masjidil Haram Di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Jadi tak masalah bila selama ibadah haji, perempuan tua yang telah menjanda lebih dari 20 tahun ini sering berada dalam gendongannya. Hal itu tak pernah menjadi beban bagi guru SMP 241 Pulau Tidung ini.
Selain digendong, mobilisasi Nek Yumnah di sana juga dibantu dengan menggunakan kursi roda. Dahyar pun bercerita, seringkali saat dirinya mendorong ibunya, banyak jemaah yang jatuh iba padanya. “Saat cuaca panas dan saya sedang dorong ibu, tiba-tiba ada yang kasih payung,” cerita pria yang lahir di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu ini.
Kemudahan demi kemudahan pun ia peroleh selama membawa ibunya berhaji. Bahkan kata Dahyar, Ibunda yang termasuk golongan jemaah beresiko tinggi ini, malah tak pernah merepotkan sama sekali. “Selama di sana, ibu malah terlihat lebih segar. Ibu senang, Alhamdulillah,” tuturnya.
Dahyar mengaku kalau semua ini dia lakukan sebagai wujud kasih sayangnya kepada orang tua. (ilm)