Marhaban ya Ramadhan. Tak terasa 10 hari lagi kita akan memasuki bukan Ramadhan, bulan yang penuh dengan keberkahan. Bulan yang dinanti oleh setiap kaum muslimin karena didalamnya terdapat kasih sayang dan ampunan dari Allah SWT, serta pembebasan dari api neraka bagi siapa saja yang dapat menjalaninya dengan penuh keikhlasan.
Didalamnya juga terdapat kemuliaan malam lailatul qadar yang lebih dari baik dari seribu bulan. Biasanya 10 hari menjelang Ramadhan, kaum muslimin sudah mulai antusias untuk menyambut kedatangan bulan puasa ini. Masjid dan mushola sudah mulai menggaungkan senandung Marhaban ya Ramadhan setiap sebelum adzan maghrib dikumandangkan. Pujian bagi Allah dan shalawat atas Rasul pun senantiasa menghiasi ibadah malam kaum muslimin. Tidak hanya itu, pasar dan toko pun sudah mulai ramai. Tidak hanya pasar tradisional, swalayan bahkan supermarket pun mulai diserbu para pembeli. Banyak di antara mereka yang mempersiapkan bekal untuk menyambut bulan suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri.
Terlihat suasana pasar mulai dihiasai oleh senyuman dan semangat mencari rejeki oleh para pedagang pakaian. Seperti diketahui, 10 hari menjelang bulan puasa sampai pertengahan bulan Ramadhan adalah masa-masa emas para pedagang untuk mendulang rejeki perniagaan.
Namun, ada yang berbeda dengan penyambutan bulan Ramadhan tahun ini. Merebaknya pandemik corona telah mendatangkan suasana hening dan senyap. Kini, kita tidak dapat lagi mendengar senandung-senandung kerinduan akan hadirnya bulan Ramadhan di masjid dan mushola. Bahkan suara lantunan ayat suci Al-Qur’an yang mengingatkan kamu muslimin untuk bangun dan sholat Subuh pun pun mulai menghilang dari pengeras suara masjid.
Sungguh tak terbayangkan jika suasana seperti itu masih berlanjut hingga bulan Ramadhan tiba. Bagaimana kaum muslimin dapat mempersiapkan diri mereka untuk sahur? bisa-bisa para pesahur bangun kesiangan karena tidak ada ‘suara berisik’ yang membangunkannya. Suasana subuh kini tak lagi ramai dengan dzikir dan doa para jamaah di masjid dan mushola. Suara tadarus dan ta’lim pagi pun, kini tak lagi mengiringi matahari yang akan terbit di ufuk timur.
Dengan adanya wabah corona ini, panitia kegiatan Ramadhan di masjid dan mushola sudah mulai mengumumkan bahwa tidak akan menyelenggarakan shalat tarawih berjamaah, tadarus bersama, sahur on the road, dan ifthor jam’i. Semua kegiatan tersebut dilakukan jamaah di rumah mereka masing-masing bersama keluarga. Biasanya 10 hari menjelang bulan Ramadhan, jadwal penyedia konsumsi buka puasa untuk para musyafir dan snack untuk para jamaah yang ikut tadarus selepas tarawih sudah beredar di setiap RT. Akan tetapi, berhubung keadaan lingkungan yang belum bebas corona, kegiatan itu kini ditiadakan. Begitu pun dengan suasana menjelang magrib ngabu berit yang biasanya ramai dengan para pembeli makanan, sepertinya akan pudar pula. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya tenda-tenda penjual ta’jil yang biasanya sudah berdiri kokoh di setiap lapangan Gedung Warga. Suasana menjelang Ramadhan tahun ini benar-benar sepi.
Ketua DKM setiap masjid pun sudah mengeluarkan surat edaran yang berisi pelarangan Tarhib Ramadhan, yaitu suatu tradisi penyambutan dan syiar bulan suci Ramadhan. Biasanya seluruh warga dalam satu RW, mulai dari anak-anak sampai lansia akan menyelenggarakan Tarhib Ramadhan dengan berjalan keliling kompleks, sambil mengumandangkan senandung lagu Marhaban Ya Ramadhan. Dengan dipadu tabuhan suara gendang marawis, iring-iringan warga tersebut tentu akan membuat jalanan menjadi ramai dan penuh suka cita dalam menyambut bulan Ramadhan. Akan tetapi, dengan adanya pelarangan ini, tentu bulan Ramadhan akan datang dengan sendirinya tanpa sambutan yang meriah.
Ramadhan tahun ini terlihat sangat sunyi. Kita tidak dapat melihat riuhnya pasar yang berjubel dengan para pembeli. Semenjak pemerintah mengumumkan untuk berkerja dari rumah, belajar dari rumah, dan ibadah dari rumah serta pemberlakukan PSBB, maka setiap orang tidak diperkenankan untuk berada di luar rumah tanpa keperluan yang mendesak. Semua pasar, toko dan warung di pinggir jalan harus tutup untuk menghindari adanya kerumunan massa. Hanya pasar-pasar besar yang menangani kebutuhan logisik dan toko-toko obat yang masih diperkenankan untuk buka. Itu pun pembelian harus dilakukan dengan media pesan antar.
10 hari menyambut bulan Ramadhan ini, entah rasa senang atau sedih yang menyelimuti diri setiap orang. Bagi para guru dan siswa, mungkin mereka akan merindukan saat-saat bersama dalam mengadakan kegiatan pesantren kilat, bakti sosial, dan buka puasa bersama. Bagi mereka para pekerja harian, mungkin tak terpikirkan untuk membeli segala perlengkapan dan kebutuhan bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri di tengah situasi pandemi global ini.
Hal terpenting bagi mereka hanyalah bagaimana ia dan keluarganya dapat bertahan hidup di setiap harinya. Bagi mereka para pedagang pakaian, mungkin hanya akan memikirkan bagaimana stok barang di tokonya dapat berkurang agar uang mereka mereka tidak terpendam dalam modal dan mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Sebagaimana diketahui, posisi pedagang pakaian di saat polemik corona ini memang sangat sulit karena mereka harus bersaing dengan toko-toko online yang kini semakin dilirik masyarakat dengan adanya keterbatasan ruang gerak.
Sedangkan jelang Hari Raya Idul Fitri, warga yang biasanya mudik pasti lebih memilih membeli mobil bekas dengan harga terjangkau ketimbang mereka harus ngecer dikampung untuk pergi bersilaturahmi ke rumah sanak saudara dan tempat wisata di kampung, Walaupun mungkin, mobil tersebut akan mereka jual kembali setibanya mereka dari kampung halaman. Alternatif ini dipilih karena biaya yang dikeluarkan dengan kendaraan pribadi lebih sedikit dari pada kendaraan umum, apalagi untuk keluarga yang jumlah anggotanya banyak.
Akan tetapi dengan adanya aturan social distancing dan pelarangan mudik, akhirnya banyak showroom yang harus tutup karena tidak adanya pembeli.
Nampaknya, wabah corona ini telah menutup sebagian besar kegiatan yang dapat mendatangkan rejeki kepada seorang, tak terkecuali dengan para ustadz. Biasanya 10 hari menjelang Ramadhan, para ustadz sudah mulai sibuk mengatur waktu untuk memenuhi panggilan di setiap event yang diselenggarakan oleh panitia Ramadhan agar tidak bentrok. Mereka ada yang bertugas sebagai imam atau penceramah yang mungkin berpindah tempat setiap harinya. Akan tetapi, dengan adanya pelarangan untuk mengadakan kegiatan yang mengumpulkan orang banyak, maka dengan sangat terpaksa banyak kegiatan-kegiatan tersebut yang harus dibatalkan. Keadaan demikian tentu akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan hidup sang pemberi ilmu tersebut beseta keluarganya.
Apa pun yang telah dipaparkan di atas, hanyalah pandangan manusia yang bersandar pada apa yang dilihat secara zhohir. Corona memang telah memiliki dampak yang luar biasa, khususnya dalam 10 hari menjelang bulan Ramadhan tahun ini. Akan tetapi, sebagai manusia kita juga harus ingat bahwa ada Sang Pemberi Rejeki yang tidak pernah tidur dan membiarkan hambanya kesusahan dalam menghadapi bulan Ramadhan yang mulia. Selama seseorang mau berusaha maka akan terbuka pintu rizki untuknya, bahkan dari arah yang tak disangka-sangka.
Suasana sepi yang dirasakan menjelang Ramadhan tahun ini, hanyalah sebagai alat yang dapat membuat kerinduan lebih dalam kepada bulan yang penuh berkah. Serta mengingatkan kita betapa pentingnya bulan Ramadhan.
Tidak hanya sekedar memikirkan tentang apa yang kita pakai untuk menyambut hari yang fitri, tetapi juga berpikir bagaimana mencapai derajat muttaqin dengan serentetan amal shalih yang harus kita lakukan di bulan yang mulai ini.
Penulis: Erna Dari Agusta (MTsN 28 Jakarta)